Indonesia Darurat Kekerasan dan Pelecehan Seksual

 



            Tahun 2021 adalah tahun yang berat, karena semakin maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Dilansir dari laman detik.com, Komisi Nasional Perempuan menerima 4.500 aduan kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang Januari-Oktober 2021. Angka itu naik dua kali lipat dibanding tahun 2020. Bentuk kekerasan seksual itu mulai dari pemerkosaan, aborsi paksa, dan penggunaan kontrasepsi, eksploitasi seksual, inses, dan kekerasan seksual di dunia maya. Sedangkan pelecehan seksual adalah tindakan atau perilaku yang dikehendaki mulai dari bentuk verbal (kata-kata), tulisan , fisik, dan visual yang dilakukan untuk kepentingan seksual, sehingga menyebabkan rasa kemarahan, malu, perasaan terhina, tidak nyaman, dan tidak aman bagi korban.

             Kasus kekerasan dan pelecehan seksual di Indonesia terjadi di Institusi Pendidikan dan keagamaan hingga dalam keluarga yang diyakini masyarakat adalah ruang aman. Hal ini, menunjukkan bahwa tidak ada lagi tempat aman dari kekerasan dan pelecehan seksual. Kasus yang baru-baru ini terjadi adalah kasus dosen UNJ yang melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswinya dengan mengirimkan pesan berbau pelecehan hingga mengajak mahasiswinya melakukan hubungan seksual. Contoh kasus lain adalah Herry Wirawan, guru di Pesantren Manarul Huda yang memerkosa 12 santrinya dalam kurun waktu 5 tahun. Itu adalah segelintir dari banyaknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia.

            Banyaknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual adalah tanda bahwa Indonesia darurat kekerasan dan pelecehan seksual dan memerlukan payung hukum yang dapat memberikan kerangka pengaturan tindak pidana kekerasan seksual secara spesifik, perlindungan bagi korban serta langkah pencegahan terhadap kekerasan seksual. Namun, RUU TPKS yang merupakan harapan bagi korban kekerasan dan pelecehan seksual batal disahkan oleh DPR. Pada 16 Desember 2021, RUU TPKS batal ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR RI di rapat paripurna DPR. Ketua Badan Legislatif DPR, Supratman Andi Agtas menyatakan bahwa ada kelalaian pihaknya sehingga Badan Musyawarah (Bamus) DPR tidak menjadwalkan agenda persetujuan RUU TPKS menjadi RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna pada 16 Desember.

            Dilansir dari laman Medcom.id, DPR memastikan akan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebagai usul inisiatif DPR. Hal itu akan dilakukan dalam Rapat Paripurna (Rapur) Pembukaan Masa Sidang Ke-III Tahun 2021-2022. Pertanyaannya adalah sampai kapan korban dan para penyintas kekerasan dan pelecehan seksual harus menunggu keadilan? Sampai berapa banyak korban kekerasan dan pelecehan seksual lagi yang berjatuhan karena menunggu kepastian pengesahan RUU TPKS?

 

 

                                                                                                Penulis : Roza Febriyanti

           

 Editor : Tim Editor

Credit gambar : fgcu.edu



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inilah Alasan Mengapa Wisuda Diundur

INAGURASI 2016 “FIBER PUNYA CERITA” MEMBUAT MASYARAKAT KAMPUS POLITEKNIK STTT TIDAK BISA MOVE ON UNTUK TERUS MENCERITAKAN SERUNYA ACARA TERSEBUT

Kacung Abdullah Angkat Bicara Mengenai Tekstil Luar Jawa