Wajib Belajar, 20 Persen dari APBN dan APBD Dana Pendidikan Kemana?
Oleh: Syafril
Sjofyan
PAGI 31 Desember
penutup tahun 2016, saya dengan keluarga menginap dirumah ibu mertua, di Desa
Tanimulya, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat. Suasana desa yang cukup
ramai.
Bangun pagi makan
gorengan bakwan dan gehu (tahu isi) hangat, disertai air putih karena tidak
ngopi dan merokok. Baca koran daerah. Wuih Nikmat. Tapi..., nanti
dulu,...waduh.
Astagaaaa,......
Saya terkaget membaca koran Gala Media, terbitan kemaren Jum'at (30/12), mertua
saya senang membaca koran dan menyediakan di meja untuk dibaca sembari sarapan
pagi, saya memang sudah lama tidak membaca koran apalagi koran daerah, biasanya
browsing melalui internet media online.
Apa yang membuat
saya kaget adalah berita utama dari koran Gala Media (koran yang dilahirkan
oleh HU Pikiran Rakyat ) yang digagas oleh sahabat saya M. Ridlo Eisy wartawan
sangat senior yang pernah menjadi komisioner Dewan Pers.
Beritanya
ditampilkan biasa dengan judul warna merah TERPAKSA PUTUS SEKOLAH Potret Buram
Pendidikan di Kecamata Cimenyan. Data yang tertulis bersumber dari BPS Kab.
Bandung. Ada angka untuk 9 desa, saya totalkan saja yang tidak bersekolah 4.654
orang, yang tidak lulus SD 11.861 orang. Belum terpotret data yang putus
sekolah di SMP dan SMA. Karena ketiadaan sekolah SD dan relatif jauh dari desa
mereka. Sehingga untuk mencapai sekolah membutuhan transport dan jajan Rp 50
ribu perorang, sehingga ketidakmampuan secara ekonomi karena sekolah yang jauh
terpaksa tidak bersekolah dan putus sekolah.
Angka yang
spektakuler untuk satu kecamatan, yang notabene ada di Kabupaten Bandung,
Provinsi Jawa Barat yang relatif dekat dengan Ibukota Republik Indonesia dimana
Istana Presiden dan para menterinya berada.
Kaget jika
membayangkan ada 72.994 desa dan 6793 ribu kecamatan, dengan kasus pendidikan
seperti kecamatan Cimenyan yang relatif dekat istana Presiden dan dekat Pendopo
Gubernur, sementara puluhan ribu desa yang lain jarak dan letaknya sangat jauh
dari Istana dan pendopo.
Potret buram
Pendidikan di desa, merupakan wajib belajar menurut UU sebagai wajib belajar 9
tahun, yang seharusnya 12 tahun adalah tanggung jawab sepenuhnya Pemerintah
Indonesia dengan kewajiban anggaran terbesar 20 persen. Persoalan dan solusinya
sebenarnya mudah, yakni pengadaan bangunan sekolah dengan pengadaan guru.
Tidaklah sesulit dan semahal pengadaan jalan tol, pelabuhan dan bahkan kereta
api cepat Bandung-Jakarta made in Cina.
Tapi kenapa yang
mudah malah sukar untuk direalisir, ataukah kita bangga dengan kebodohan sudah
sekian lama merdeka ternyata untuk mencerdaskan bangsa dengan memberikan
pendidikan wajib untuk SD kita tidak sanggup.
Sembari menutup
koran daerah dan menghela napas serta meminum air karena kerongkongan tercekat
dengan kekagetan, saya menerawang ingat tahun 1977 di mana Rizal Ramli dkk,
semasa mahasiswa membentuk Gerakan Anti Kebodohan dengan tuntutan ada 6 juta
anak tidak bersekolah, walaupun akhirnya Rizal Ramli termasuk saya serta para
aktivis mahasiswa diperbagai kampus ditangkap dan dipenjara di awal tahun 1978,
namun ide dan tuntutan Gerakan Anti Kebodohan oleh rezim Soeharto akhirnya
diterima menjadi Wajib Belajar enam tahun.
Namun sekarang
fakta kasus pendidikan di kecamatan Cimenyan, hampir 40 tahun kemudian ternyata
masih merupakan potret ketidakmampuan pemerintah untuk melaksanakan
kewajibannya wajib Belajar 9 tahun (yang seharusnya wajar 12 tahun).
Tidakkah
kebanggaan yang kosong, dengan kemegahan dan kemewahan ibukota disertai
reklamasi belasan pulau dengan gedung megahnya, berkereta api cepat yang mahal,
sementara rakyat terutama generasi mudanya di sekitarnya bodoh tidak
bersekolah, dengan orang tua yang papa dan miskin karena tidak pernah menduduki
bangku sekolah, rentan menjual semua harta milik mereka, satu satunya tanah
warisan di desa dijual secara murah kepada 1 persen orang kaya, yang menguasai
56 persen kekayaan bangsa.
Masihkah penguasa
hanya peka terhadap kritik yang dianggap menyerang ketidakmampuan dan kelemahan
mereka dan sigap serta cekatan membela diri dan menangkapi warganya yang kritis
dengan alasan hantu makar dan UU ITE, sementara USA negara demokrasi mengakui
80 persen sosmed beredar kabar bohong, namun tidak satupun aktivisnya yang
ditangkap dengan UU ITE.
Saya tutup
tulisan dengan harapan agar yang memegang amanah dan kekuasaan tahun 2017
menjadikan tahun untuk melaksanakan tuntutan/suara rakyat. Semoga sadar untuk
melakukan perbaikan bangunlah bangsa dan selenggarakan wajib belajar 12 tahun,
sebagai amanah pembukaan UUD 45 untuk mencerdaskan bangsa, bekerjalah untuk
rakyat bukan untuk konglomerat, lepaskan mereka yang kritis rangkul pemikiran
dan ide mereka, otoriternya rezim Soeharto ide mahasiswa ditahun 77 dan 78
berbuah wajib belajar 6 tahun. Presiden Jokowi yang berasal dari sipil tentunya
tidak ingin tercatat sebagai Presiden yang otoriter karena merasa bahwa
DPR/Senayan sudah dikuasai semua.
Desa Tanimulya, 31 Desember 2016
Syafril Sjofyan
Penulis adalah emerhati kebijakan publik dan
aktivis 77-78
Komentar
Posting Komentar